Tubuhnya cadas menantang badai
Tubuhnya baja tak tembus peluru
Sekuat itu
Sekokoh itu
Dak aku terlempar ke dalam kesenyapan
Hanya ada aku
Dan dia
Bukankah hanya perlu dua aksara
Melengkapi kata menjadi genap
Siapaka?
Dimanakah?
Kapankah?
Perlukah suatu peristiwa
untuk membuat sesuatu menjadi perlu?
Aku seperti tersengat arus listrik
Nyeri
Tapi malah semakin dekat
Tak bisa lepas
Atau.. tak mau
Seperti dikejar bayang-bayang
Meski tak melakukan kesalahan apa-apa
Mengapa kebenaran justru membuat kita
selalu merasa tersiksa?
Barangkali karena kebenaran telah lama terpenjara
Tengah malam aku terjaga
Mendengarkan keheningan yang penuh suara
Sebab isi hati tak pernah bisa dibungkam
Malukiskan dirinya
setiap helai kata menjadi lumpuh
kehilangan makna
Dan kerinduan menggenang
Menenggelamkan diriku pada dasarnya...
Bukankah berada di puncak selalu menyenangkan?
Bau busuk tak pernah tercium sampai ke atas
Hanya mengendap di bawah
Dan kita lupa turun kembali
Pad tubuhnya
pakaian hanyalah kepalsuan
Ia hanya perlu telanjang
Jujur terhadap dirinya sendiri
Mengapakah telanjang justru dilarang?
Di hadapannya
aku adalah debu yang gemetar
Tapi tak mau tersingkir
Aku berjuang untuk bertahan
Agar tetap melekat dikulitnya
Kita tak pernah betul-betul merdeka
Kita selalu diperbudak
Bahakan oleh cinta
Hanya keindahan yang masih murni
Hanya keindahan yang masih memiliki nurani
Menyerah pada keindahan,
bukankah itu manusiawi?
Hanya keindahan yang tak perlu dimusuhi
Haruskah nama menjadi pertanda
Mengenal seseorang
Mengetahu sesuatu
Sudah lama kepalsuan tak berwajah
Kita sulit membedakannya
Aku bersembunyi
di dalam gelap diriku...
Aku terperangkap
Tapi tak pernah tersesat...
Dalam diam
aku mengerti segalanya
Membebaskan ketidaktahuanku
Kemanakah arah!
Jika tujuan hanya persimpangan tak pasti
Biar hati yang menjadi mata angin...